Senin, 11 Juli 2011

Isra’ Mi’raj Tidak Masuk Akal?

Oleh: Dr. Adian Husaini
DALAM sebuah acara peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw, di Jakarta, pembawa acara menyampaikan narasi, bahwa Isra’ Mi’raj adalah adalah sebuah peristiwa yang harus diterima dengan iman dan tidak bisa diterima dengan akal, karena peristiwa itu memang tidak masuk akal. Mungkin, kita sering mendengar ungkapan serupa; bahwa hal-hal yang ghaib harus diterima dengan iman, bukan dengan akal. Benarkah pernyataan seperti itu?

Ketika itu, saya menguraikan, bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj memang tidak masuk di akalnya Abu Jahal. Tetapi, peristiwa tersebut masuk di akalnya Abu Bakar ash-Shiddiq r.a.. Abu Jahal bahkan menjadikan Isra’ Mi’raj sebagai senjata untuk menarik kembali orang-orang Quraisy dari keimanan Islam. Dan memang, sejumlah orang akhirnya keluar dari Islam, karena menganggap cerita Isra’ Mi’raj sebagai kebohongan dan tidak masuk akal.

Tetapi, provokasi Abu Jahal dan beberapa tokoh kafir Quraisy tidak ‘mempan’ untuk membatalkan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau cukup berlogika sederhana: Jika yang menyampaikan berita itu adalah Muhammad saw, pasti cerita itu benar adanya. Bahkan, lebih dari itu pun Abu Bakar ash-Shiddiq percaya. Jadi, Isra’ Mi’raj sangat masuk di akalnya Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, dan tidak masuk pada akalnya akalnya Abu Jahal.

Persoalan akal mendapatkan kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Orang dibebani kewajiban menjalankan syariat jika dia sudah “mukallaf”, artinya, dia sudah baligh (dewasa) dan mempunyai akal. Jika hilang akalnya, maka dia bebas syariat.  Itulah karunia Allah!  Manusia bisa saja menuntut bebas dari melaksanakan syariat Allah, asalkan mereka sudah kehilangan akal.

Memang, dengan akal-lah manusia dikatakan sebagai manusia. Laulal aqlu la-kaanal-insaanu kal-bahaaim. Begitu sebuah ungkapan Arab yang bermakna: tanpa akal, maka manusia ibarat binatang. Manusia menjadi manusia, karena akalnya, bukan karena jasadnya. Lihatlah, seorang ahli fisika Inggris Stephen Hawking! Meskipun tubuhnya sudah lemah lunglai, terhempas di kursi roda, tanpa bisa berkata apa-apa, jalan pikirannya tetap diperhatikan oleh dunia. Meskipun dia sekular, tetapi dia tetap dipandang sebagai manusia. Akalnya masih ada!

Bandingkan dengan seorang yang masih gagah perkasa atau cantik jelita, jika hilang akalnya, maka hilang pula nilainya sebagai manusia.  Karena itu, kita melihat ada hal yang kontradiktif  pada kaum sekular yang memandang manusia hanya dari segi fisiknya saja. Tengoklah buku-buku sejarah atau Biologi yang diajarkan kepada anak-anak kita!  Tatkala membahas tentang asal-usul manusia, mereka hanya berbicara tentang sejarah fisik atau tubuh manusia. Yang mereka teliti hanya sejarah tulang belulang. Mereka hanya meneliti fosil, karena hanya itu yang bisa mereka lihat.

Mereka tidak mengakui adanya RUH yang justru merupakan inti dari manusia. Sedangkan jasad adalah “tunggangan” RUH. Saat bicara tentang sejarah manusia, maka harusnya mereka sampai pada satu momen penting dari sejarah manusia, yaitu tatkala manusia membuat perjanjian dengan Allah di alam arwah. Ketika itu, Allah bertanya: “Apakah Aku ini Tuhanmu?” maka serentak manusia menjawab: “Benar, kami menjadi saksi!” (QS 7:172).

Itulah sebuah momen penting dari sejarah manusia. Bukan hanya menelusuri sejarah tulang belulang. Sayangnya, kaum sekularis dan materialis tidak mengakui informasi yang berasal dari wahyu sebagai “Ilmu”. Bagi mereka informasi wahyu dianggap sebagai dogma, yang tidak bisa diilmiahkan. Informasi tentang RUH, alam akhirat, dan alam ghaib lainnya, tidak dikategorikan sebagai ilmu. Karena itulah, dalam struktur keilmuan yang banyak dipelajari di sekolah-sekolah atau Perguruan Tinggi sekarang, yang dimasukkan dalam kategori “sains” hanyalah hal-hal yang bisa diindera. Mereka tidak mengakui adanya Sains tentang akhirat, sains tentang sorga dan neraka.

Padahal, dalam Islam, informasi tentang sifat-sifat Allah, tentang Akhirat, adanya pahala dan dosa, tentang berkah, dan sebagainya, merupakan bagian dari Ilmu! Informasi tentang kenabian Muhammad saw, bahwa beliau menerima wahyu dari Allah SWT, adalah merupakan ILMU. Dalam QS 3:19 disebutkan, bahwa kaum ahlul kitab tidak berselisih paham kecuali setelah datangnya ILMU pada mereka, karena sikap iri dan dengki. Jadi, bukti kenabian Muhammad saw adalah suatu ILMU, yakni suatu informasi yang pasti kebenarannya.

Jadi, informasi tentang hal-hal ghaib adalah ILMU dan masuk akal. Sebab, informasi itu dibawa oleh manusia-manusia yang terpercaya. Karena sumber informasinya adalah pasti (khabar shadiq/true report), makan nilai informasi itu pun menjadi pasti pula. Sebenarnya, fenomena semacam ini terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kita percaya, bahwa kedua orang tua kita sekarang ini, benar-benar orang tua kita, juga berdasarkan informasi dari orang-orang yang kita percayai. Karena semua orang yang kita percayai memberikan informasi yang sama – bahwa mereka adalah orang tua kita – maka kita pun percayai, meskipun kita tidak melakukan tes golongan darah atau tes DNA.

Mungkin ada mahasiswa yang berlagak kritis dan rasional dalam segala hal. Dia mau mengkritisi semua hal. Katanya, “Saya hanya percaya kepada hal-hal yang bisa diindera secara langsung atau yang rasional. Di luar itu, saya tidak percaya!”


Kita jawab: “Anda pun tidak kritis pada diri Anda sendiri. Coba tanyakan dengan cara yang sesopan mungkin kepada kedua orang tua Anda, apa bukti ilmiah yang empiris dan rasional bahwa Anda benar-benar anak mereka?”

Seorang mahasiswa tidak akan pernah menjadi sarjana, jika dia bersikap kritis. Saat dosennya menyatakan, bahwa ini adalah rumus Phytagoras atau hukum ini ciptaan Archimides, maka si mahasiswa yang mengaku kritis tadi, harusnya bertanya kepada dosennya, bagaimana Bapak tahu, bahwa rumus itu berasal dari Phytagoras? Bagaimana membuktikannya? Apakah Bapak melihat sendiri? Kenapa Bapak percaya begitu saja.

Saat seorang dosen atau guru fisika menerangkan bahwa kecepatan cahaya adalah 270 ribu sekian km/detik, maka si mahasiswa harusnya bertanya, “Bagaimana Bapak bisa mengatakan seperti itu. Apa buktinya?”

Syahdan, dulu ada seorang ilmuwan di Indonesia yang terkenal sangat rasional dan “Western oriented”. Dia hanya mau menerima hal-hal yang empiris dan rasional. Suatu ketika, sang ilmuwan ini akan balik kampong dan menaiki Kapal Laut. Maka, temannya, yang seorang cendekiawan Muslim mengingatkan dia: “Jika kamu rasional, harusnya kamu tidak naik kapal, tetapi berenang. Sebab, ketika naik kapal, kamu sudah tidak rasional, karena kamu percaya saja kepada nakhoda atau petugas kapal yang kamu tidak kenal sama mereka!”

Tatkala kita menaiki pesawat terbang, kita dipaksa menjadi tidak rasional dan tidak kritis.Saat diumumkan, bahwa pesawat ini akan menuju suatu kota dengan ketinggian sekian, dengan pilot Si Fulan, maka kita pun percaya begitu saja! Padahal, kita tidak kenal sama sekali dengan para awak pesawat, tidak mengecek langsung, apakah si pilot benar-benar pilot atau pelawak.

Itulah anehnya manusia. Kadangkala, mereka percaya kepada dukun yang jelas-jelas mengaku bodho, percaya kepada ilmuwan fosil yang belum tentu jujur, percaya kepada pramugari pesawat yang sama sekali tidak dikenalnya. Tetai, ajaibnya, mereka tidak percaya kepada seorang “manusia”  yang kejujurannya diakui oleh bangsanya, diakui oleh kawan maupun lawannya. Bahkan, sejak umur 25 tahun, kaumnya sudah member gelar istimewa “al-Amin”, manusia yang terpercaya.

Jika dukun yang menamakan dirinya sebagai orang bodho bisa dipercaya, mengapa kita tidak percaya kepada Nabi Muhammad saw? Itulah akal Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., yaitu  akal yang jernih; akal yang sanggup mendudukkan sesuatu pada tempatnya. Saat berita Isra’ Mi’raj itu tiba padanya, maka Sayyidina Abu Bakar cukup menggunakan logika yang sederhana: Jika yang mengatakan itu adalah Muhammad saw, pasti itu benar adanya!

Ada lagi sebagian kalangan yang berlagak kiritis kepada Nabi Muhammad saw, kritis kepada sahabat Nabi dan para ulama terkemuka. “Kita harus kiritis!” katanya. Bahkan, masih kata dia lagi, “Kita harus berani kritis terhadap pikiran kita sendiri!”

Dalam acara bedah Novel Kemi di  IAIN Syekh Nurjati Cirebon, 28 Juni 2011, ada seorang mahasiswa bertanya kepada saya: Apa definisi iman, kafir, dan sebagainya?”

Tentu saja, saya cukup keheranan. Bagaimana seorang yang belajar agama Islam pada level perguruan tinggi masih belum tahu, ada definisi iman dan kafir.  Saya jawab, “Kenapa kita tidak merujuk saja kepada pendapat para ulama yang mu’tabarah tentang definisi-definisi tersebut? Lihat saja pendapat Imam al-Syafii, Imam al-Ghazali, dan sebagainya!”

Si mahasiswa tadi sebenarnya sedang menghadapi krisis otoritas. Dia menolak otoritas para ulama Islam, tetapi mengakui otoritas Nasr Hamid Abu Zaid, dan para orientalis. Dia lebih percaya kepada pendapat orientalis ketimbang pendapat ulama. Padahal, setiap bidang ilmu selalu menempatkan otoritas-otoritas tertentu. JIka kita belajar Fisika, maka kita diminta menerima otoritas keilmuan yang dimiliki ilmuwan-ilmuwan besar di bidang Fisika. Sama halnya dengan otoritas di bidang ilmu ekonomi, ilmu Sosiologi, dan sebagainya. Ironisnya, saat ini, otoritas keilmuan di Perguruan Tinggi kadangkala diletakkan kepada gelar formal, dan bukan pada kualitas keilmuan seseorang.  Meskipun bodoh dan kurang ilmu, tetapi karena sudah bergelar professor maka dia diberikan otoritas keilmuan di bidangnya.

Jika mahasiswa tidak mengakui otoritas keilmuan seseorang, maka dia tidak akan pernah menjadi sarjana, sebab saat menyusun skripsi, tesis, atau disertasi, pasti dia mengutip sana-sini, pendapat-pendapat dari orang-orang yang dianggap mempunyai otoritas tertentu di bidangnya.  Saat membahas tafsir UUD 1945, tentu kita lebih percaya kepada tafsiran Prof. Dr. Jimly ash-Shiddiqy dibandingkan tafsiran Inul atau Thukul.

Untuk menundukkan akal manusia agar menerima kebenaran misi kenabian, maka Allah memberikan bukti-bukti nyata berupa mu’jizat pada para utusan-Nya. Dengan itu, diharapkan, akal manusia akan menerima kebenaran yang berasal dari Allah, yang merupakan sumber kebenaran.  Jadi, berita tentang misi kenabian adalah suatu Ilmu dan ilmiah. Adalah ironis, jika berita kenabian tidak dianggap sebagai ILMU, sedangkan informasi tentang kehidupan  di bumi jutaan tahun lalu, dianggap sebagai ILMU. 

Pintu masuk seorang menjadi Muslim adalah “syahadat”: saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah.  Konsekuensinya, seorang Muslim pasti percaya kepada apa pun yang dikatakan oleh Nabi Muhammad saw.  Allah adalah sumber ILMU. Allah yang mengajarkan Ilmu kepada manusia, baik yang disampaikan melalui para nabinya, maupun yang diberikan kepada manusia dalam bentuk ilham, dan sebagainya.

Yang jelas, tatkala mendapatkan ILMU, maka kita yakin, bahwa Ilmu itu adalah anugerah Allah. Ilmu adalah karunia Allah. Meskipun manusia bekerja keras, jika Allah tidak menghendaki dia meraih ilmu, maka suatu ilmu tidak akan sampai padanya.  Bertemunya upaya manusia  dan  anugerah Allah akan datangnya suatu makna pada diri manusia, itulah yang dikatakan Prof Syed Naquib al-Attas sebagai suatu Ilmu. Di sini terpadu unsur  upaya manusia, sebagai syariat untuk meraih ilmu. Tetapi, pada sisi lain, bagaimana pun, keberhasilan manusia untuk meraih satu ilmu tertentu adalah merupakan anugerah Allah SWT.

Jadi, seorang Muslim adalah seorang yang sangat menghargai akalnya, dan mampu menempatkan akal manusia pada tempatnya. Akal adalah anugerah Allah. Akal digunakan untuk berpikir yang tujuan tertingginya adalah untuk mengenal Sang Pencipta (ma’rifatullah). Pengakuan akan ke-Tuhanan Allah SWT dan kenabian Muhammad saw itulah yang membedakan akal orang mukmin dengan akal orang kafir.  Orang mukmin mengarahkan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah.

Orang mukmin paham akan tujuan dan makna hidup yang sebenarnya. Dengan akalnya, orang mukmin paham, bahwa kebahagiaan tertinggi di dunia ini adalah mengenal dan berzikir kepada Allah; bukan menuruti semua tuntutan syahwat. Dengan akalnya, manusia dapat mengenal Sang Pencipta.  Dengan akalnya, manusia dapat memahami cara-cara menyembah Sang Pencipta, sebagaimana diajarkan oleh utusan Allah.

Jadi, meskipun sama-sama berakal, ada perbedaan yang mendasar antara akal Abu Bakar ash-Shiddiq dan akal Abu Jahal. Akal Abu Bakar adalah akal yang jernih, akal yang benar (aqlun shahihun), sedangkan akal Abu Jahal adalah akal yang salah, akal yang buruk, akal yang tidak mampu mengantarkan manusia kepada pengenalan Sang Pencipta.  Wallahu a’lam bil-shawab. (***).

Red: Dija

Beragam Wajah Muslimah Amerika

Hidayatullah.com--Apa artinya menjadi seorang Muslimah di Amerika dewasa ini? Dalam “I Speak for Myself”, 40 Muslimah Amerika bertutur tentang pengalaman tumbuh besar di Amerika. Cerita pribadi mereka tentang perjuangan dan keberhasilan mengingatkan bahwa kita punya lebih banyak kesamaan dalam perjalanan kehidupan daripada yang sering kita bisa sadari.
"I Speak for Myself: American Women on Being Muslim", yang disunting oleh Maria M. Ebrahimji dan Zahra T. Suratwala, menyuguhi pembaca bagaimana rasanya tumbuh besar sebagai seorang Muslimah di Amerika, dengan berbagai pertimbangan emosi, simbolik dan sosial yang cukup ruwet.
Cerita-cerita di buku ini adalah manifestasi dari evolusi spiritual. Di permukaan, kita membaca tentang hubungan yang bermasalah dengan para suami, rekan kerja, orangtua dan teman, tapi, di tingkat yang lebih dalam, perjalanan itu adalah sebuah ekspresi semangat manusia.
Para perempuan ini berhasil mengatasi kesulitan dalam hidup mereka dan mengingatkan kita potensi dan keberanian yang ada pada masing-masing kita. Saat kita tumbuh berkembang dan dewasa, kita menjadi sadar akan keindahan dan kesucian hidup yang melampaui budaya.
Misalnya, salah satu Muslimah menulis tentang pengalaman mendapati suaranya lebih kuat dan bertenaga setelah mengalami perceraian dan pelecehan. Seorang Muslimah lainnya membincangkan signifikansi kultural dari perbincangan-perbincangannya ketika bekerja sebagai anggota dewan.
Kita juga membaca tentang bagaimana seorang perempuan dengan kocak dan cemas mengatasi kesenjangan generasi dan budaya yang ia alami dengan orangtuanya.
Bergulat dengan hasrat untuk menyesuaikan diri, perempuan lainnya menggambarkan bagaimana ia berjuang untuk menjelaskan dan merasionalisasi namanya, sementara yang lain bicara tentang sulitnya memutuskan apakah perlu mengenakan jilbab atau tidak. Setiap perempuan menggambarkan potensi kreatif terdalamnya sendiri, dan mengekspresikan hakikat tentang eksistensi manusia.
Disusun di Amerika Serikat dan beberapa negara lain, “I Speak for Myself” dikontekstualisasikan dalam berbagai wacana identitas Amerika dan Muslim.
Himpunan cerita ini memperluas wacana-wacana ini hingga mencakup isu ras, kelas, agama, etnis, sejarah, politik, bahasa dan jender. Cerita-cerita tersebut mengesankan pemikiran masing-masing masyarakat tentang sejarah, Islam dan budaya tampak ruwet, sehingga pada akhirnya menantang anggapan bahwa para Muslimah tak bisa bersuara dan tak berdaya. Para penulis mengajari kita bahwa di luar budaya, ada ikatan yang lebih mendalam yang mempertalikan kita – hasrat kita akan perdamaian dan keadilan sosial.
“I Speak for Myself” menyediakan beragam contoh yang menjelaskan berbagai kemungkinan yang dihadapi manusia. Masing-masing perempuan menggambarkan identitas Amerika yang terganggu dengan ambivalensi dan kecemasan nyata tentang keterkaitan yang jelas di antara agama, politik dan ekspektasi sosial. Salah seorang perempuan bicara tentang seorang temannya pada masa kanak-kanak yang melihatnya sebagai orang Amerika dan bukan Muslim, dan bagaimana, pada saat itu, itu membuatnya bangga. Tapi kebingungan membuatnya berpikir sejenak dan menyadari bahwa ia tidak harus memilih antara menjadi Muslim dan menjadi orang Amerika. Ia bisa menjadi dua-duanya.
Muslimah lainnya menerangkan bagaimana pada masa mudanya ia berjuang untuk menjadi Muslim yang “benar” dan menyesuaikan diri dengan komunitas Muslim. Ia segera menyadari bahwa tidak hanya ada satu cara untuk menjadi Muslim dan bahwa Islam menyambut baik bermacam ekspresi keberagamaan.
Tapi tantangan ada tak hanya pada masa anak-anak dan remaja. Seorang Muslimah Afrika-Amerika menggambarkan bagaimana ia merasa menjadi bagian sekaligus terkucil dalam komunitas Muslim, serta hasratnya agar Muslim mengatasi masalah diskriminasi dalam sebagian komunitas Muslim. Seorang Muslimah Afrika-Amerika lainnya menggambarkan frustrasi yang ia alami ketika mencoba merangkul identitas Islam, feminis dan Afrika-Amerika yang “sejati”. Alih-alih, ia memutuskan untuk merangkul berbagai kepingan terpisah dan kontradiktif dari kepribadiannya, daripada mencoba menjadi seperti orang lain.
Perbincangan tentang keyakinan agama masing-masing perempuan mencerminkan bagaimana identitas mengalami pasang surut, disesuaikan dan dinegosiasikan. Masing-masing perempuan menjadi bagian dari negosiasi antara kekuatan dan ketidakberdayaan ini di mana ia melemahkan mitologi tentang Muslimah yang tertindas dan menciptakan sebuah model perlawanan.
Para perempuan yang berbagi cerita di buku ini adalah para insinyur, dokter, pengacara, tokoh masyarakat, pejuang keadilan sosial, mantan relawan Peace Corps dan Teach for America, seniman, profesor, mahasiswa, politisi, peraih penghargaan, bloger, jurnalis, aktivis lingkungan dan, terutama sekali, saudara-saudara kita dalam kemanusiaan. Melalui pengalaman masing-masing perempuan, para pembaca I Speak for Myself mendapatkan pemahaman yang lebih kuat tentang bagaimana rasanya tumbuh besar sebagai seorang Muslimah di Amerika.
Bethsaida Nieves. Penulis adalah seorang mahasiswa doktoral di University of Wisconsin-Madison. Ia memiliki minat untuk meneliti dan mengajar dalam kajian pendidikan internasional dan perbandingan. Artikel ini ditulis untuk Kantor Berita Common Ground (CGNews)

Red: Panji Islam

Pertengahan Juli, Matahari Tepat di Atas Kakbah

AKARTA - Bagi Anda yang hendak mengecek arah kiblat bisa melakukan pada pertengahan Juli ini. Dipastikan pada 16 Juli mendatang matahari tepat berada di atas Kota Mekkah, Arab Saudi.

“Sekira pukul 16.27 WIB,” ujar peneliti LAPAN Thomas Djamaluddin kepada okezone di Jakarta, Jumat (1/7/2011).

Dalam hal ini, LAPAN juga akan mengamati peristiwa tersebut. Hasilnya akan dijadikan acuan dalam penentuan kiblat di Indonesia.

Pada Sabtu, 28 Mei 2011 lalu, pukul 12.18 waktu Makkah atau pukul 16.18 WIB, matahari juga tepat berada di atas kota Makkah. Saat itu, bayangan di seluruh dunia yang masih bisa melihat matahari mengarah ke Kakbah.

Bayangan ke arah Kakbah yang dapat dijadikan patokan arah kiblat itu dapat diperoleh dari benda yang berdiri tegak lurus di tempat datar. Cara itu dapat digunakan di sejumlah wilayah yang tak bisa melihat Kakbah secara langsung.

Meski demikian, penentuan kiblat tidak perlu terpaku pada hari dan jam saat matahari benar-benar tepat di atas Mekkah. Pergeseran yang lambat membuat matahari berada di atas Makkah selama dua hari sebelum dan sesudah 16 Juli 2011 serta dalam rentan waktu lima menit sebelum dan sesudah pukul 16.27 WIB. “Ini bisa digunakan mulai 14-18 Juli,” jelasnya.

SBY Ajak Umat Muslim Kembalikan Kejayaan Islam

JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak umat muslim di Indonesia agar dapat mengembalikan kejayaan peradaban Islam.

Hal tersebut di sampaikan SBY saat berpidato memperingati Isra Mi’raj di Istana Negara, Jakarta, Kamis (30/6/2011).

"Saat ini dan ke depan kita memiliki tugas sejarah untuk membangkitkan kembali peradaban Islam yang agung. Sebagai bangsa yang jumlah penduduk muslimnya terbesar di dunia, kita harus memberi sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban. Kita harus menjadi pelopor dalam pembangunan kesetaraan kedamiaan, keadilan dan  kesejahteraan," katanya.

Presiden menyerukan umat muslim di Tanah Air harus memiliki keunggulan dalam peningkatan daya saing serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan bekal tersebut SBY yakin umat Islam dapat berada di garda peradaban dunia.

"Jika hanya memiliki keunggulan iman dan takwa tetapi tertinggal dalam ilmu pengetahuan dan tekhnologi, kita akan selalu tergantung pada bangsa-bangsa lain, terbelenggu dan terpinggirkan dalam percaturan global, hari demi hari kita akan dapat masalah baru tanpa kemampuan untuk memecahkannya. Sebaliknya kalau hanya unggul ilmu pengetahuan dan tekhnologi tapi kering dari iman dan takwa, kita akan menjadi bangsa yang arogan, tersesat, dan tidak tentram. Barangkali kita hanya mengejar kesenangan duniawi, hedonistik, penuh kerakusan merusak alam semesta," paparnya.

SBY menegaskan, sejarah mencatat bahwa ilmuwan muslim telah mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia.

“Bukankah kedokteran, astronomi, aljabar atau matematika atau ilmu hajat atau biologi dikembangkan para ilmuwan muslim yang saleh. Sejarah juga membuktikan disaat ilmu pengetahuan berkembang pesat di masa itu Islam mencapai puncak kejayaannya, yang dikenal dengan the golden age of Islamic history,” ungkapnya.

Dalam perkembangannya, sambung SBY, kemudian ajaran Islam telah berhasil mendorong terjadinya peradaban Islam yang luhur dan agung. Peradaban Islam telah menjadi inspirasi bagi peradaban lain, yang berkembang saat itu. Peradaban Islam juga telah berhasil mewariskan sistem dan tata nilai kemanusiaan yang diteladani umat dan bangsa lain di muka bumi ini

“Saya mengajak kaum muslimin di seluruh Tanah Air untuk mengemabangkan masyarakat muslim yang berilmu dan berwawasan luas. Beraklak mulia, toleran, dan berperadaban tinggi. Mari kita ciptakan tatanan masyarakat yang beriman berilmu dan rasional sebagai ciri dari bangsa yang religius dan berdaya saing tinggi,” ungkapnya.

Presiden juga mengajak,”Mari kita mantapkan penyelarasan pemahaman wahyu yang penuh hilmah dengan penguasaan ilmu dan teknologi yang penuh manfaat. Mari kita kedepankan pikiran yang terang cara pandang yang positif, sikap yang penuh optimisme dan pola hidup bermasyarakat yang toleran. Mari kita cegah dan hindari bentuk radikalisme dan anarkisme,” serunya.

Lebih lanjut Presiden juga mengimbau,”Mari kita budayakan hidup penuh keikhlasan, ke jujuran, peduli lingkungan, dan rasa tanggung jawab. Utamanya terhadap masa depan generasi yang akan datang,” ujarnya.

Dia juga mengajak kepada para tokoh agama dan masyarakat di seluruh Tahan Air untuk terus menyuburkan nilai-nilai keteladanan yang berbasis pada pemaknaan wahyu Ilahi yang penuh hikmah.

“Berikan pencerahan kepada segenap warga bangsa. Bahwa memberikan yang terbaik bagi pembangunan umat dan bangsa kita ke depan adalah wujud dari ibadah kepada Allah SWT. Melalui momentum Isra Mikraj mari kita tingkatkan kesadaran pentingnya wahyu memandu ilmu," tutupnya.

1 Rajab 1431 H Jatuh pada Hari Ini Muhammad Saifullah - Okezone

JAKARTA- Ketua Lajnah Falakiyah PBNU KH A Ghazalie Masroeri menyatakan tanggal 1 Rajab 1431 Hijriah jatuh pada hari ini, Senin 14 Juni 2010.

Rukyatul hilal penentuan awal bulan Rajab dilakukan pada Sabtu sore, 29 Jumadil Akhir bertepatan dengan 12 Juni kemarin, di beberapa titik rukyatul hilal. Hasilnya, hilal tak tampak sehingga bulan Jumadil Akhir digenapkan menjadi 30 hari sesuai dengan kaidah istikmal.

“Maka 1 Rajab 1431 baru terjadi hari Senin ini,” kata Ketua Lajnah Falakiyah KH A. Ghazalie Masroeri seperti dilansir dari laman NU Online di Jakarta, Senin (14/6/2010).

Pada saat diadakan rukyatul hilal pada Sabtu kemarin secara hisab memang posisi bulan masih di bawah ufuk, tepatnya 1043’ sehingga tidak mungkin hilal bisa tampak. Namun rukyatul hilal tetap dilaksanakan sebagai prasyarat penentuan awal bulan.

Menurut Kiai Ghazali pada hari berikutnya atau Ahad diadakan rukyatul hilal kedua sebagai pengukuhan rukyatul hilal yang diadakan pada 29 Jumadil Akhir. Hasilnya mengukuhkan 1 Rajab jatuh pada Senin. “Hasil rukyat di Samarinda hilal pada posisi 6 sampai 7 derajat,” ujarnya.

Misteri dan Fungsi Puasa

Allah berfirman: "Dan berpuasa, lebih baik bagimu jika kamu mengetahui" (Al-Baqarah:184).

Penelitian kedokteran menetapkan bahwa berlebih-lebihan dalam konsumsi makanan bisa menimbulkan berbagai penyakit, khususnya penyakit yang berhubungan dengan pencernaan. Mengkonsumsi makanan secara berlebihan dapat menimbulkan kekuatan jantung dan pembuluh darah yang berakibat meningkatnya tekanan darah dan terhentinya campuran darah dan nanah. Kemudian hal ini berakibat tambahnya tekanan darah yang dapat menyebabkan penyakit kencing manis. Tak ada jalan lain untuk mengatasi penyakit tersebut, kecuali dengan mengantisipasi timbulnya gejala-gejala yang disebabkannya. Lapar pada saat-saat tertentu pada organ tubuh menjadi suatu keharusan agar proses pencernaan dapat membasmi sel-sel kecil. Dengan begitu fisik akan kembali normal setelah terbentuknya sel-sel baru.

Studi ilmiah terbaru menyatakan bahwa puasa berfungsi sebagai terapi dari bahaya penyakit-penyakit kontemporer. Dan juga sebagai pembaharu jaringan-jaringan sel disamping mampu menghilangkan unsur-unsur penyakit yang tidak dibutuhkan lagi.

Puasa dapat memberi ruang pada usus dan perut untuk menyaring makanan, ia bisa meredahkan aktivitas kotoran dalam usus dan perut. Kondisi seperti ini mampu memberi ruang yang tepat untuk mengobati luka dengan adanya selaput lendir. Kemudian daya serap itu terhenti dari usus. Pada akhirnya asam ammonia tidak mampu menyampai jantung, glukosa ataupun zat garam.

Atas dasar inilah sel-sel jantung tidak dapat melakukan pembentukan struktur glikogen, protein, kolesterol dikarenakan tidak adanya hubungan yang terbentuk. Itulah hasil dari kekosongan usus dari berbagai makanan. Karenanya penyerapan menjadi tersumbat. Dengan demikian ibadah puasa memberikan ruang bagi sel-sel jantung untuk menghindari terjadinya lemak-lemak yang terkadang meresap di dalamnya.

Puasa juga berguna untuk mencegah penyakit kencing manis. Dalam suatu penelitian diungkapkan bahwa kadar gula seseorang mengalami penurunan dengan dilakukannya ibadah puasa. Di USA telah ditemukan sebuah kesimpulan dari kajian-kajian ilmiah yang membahas kekuatan puasa untuk mencegah penyakit kencing manis.

Dalam bukunya, Prof. Nicholev Wanzlop mengatakan bahwa "lapar dapat berguna sebagai terapi kesehatan". Sebuah keharusan bagi setiap individu di dalam komunitas negara besar untuk mengontrol fisiknya, dengan cara membuang kotoran-kotoran yang mengandung zat beracun dalam tubuh. Prakteknya yaitu dengan menahan lapar pada periode-periode tertentu dengan meninggalkan mengkonsumsi makanan pada rentang masa 3 - 4 minggu.

Bagi pakar kesehatan, puasa dipandang berfaedah bagi penyakit-penyakit kulit. Karena faktor tertahannya makanan dan minuman yang berarti sedikit pula yang terserap di dalam tubuh dan sirkulasi darah. Sehingga berdampak pada air yang masuk ke dalam kulit, radang dan berbagai penyakit yang berbahaya lainnya menjadi minim. Disamping puasa, < href="http://mukjizatdiislam.blogspot.com/2008/05/wudlu-dan-pencegahan-terhadap-penyakit.html">wudlu juga dapat mencegah berbagai penyakit kulit.

Penemuan medis juga memperkukuh ketegasan bahwa puasa bisa melindungi diri dari banyak penyakit. Juga dapat mengurangi lemak-lemak di dalam tubuh yang berarti juga mengurangi kadar kolesterol. Yakni unsuryang mengendap di atas pembuluh-pembuluh darah yang berakibat menjadi keras. Disamping itu menyebabkan terjadinya pembekuan darah di dalam pembuluh-pembuluh jantung dan otak.

Puasa juga dapat menimbulkan daya kekuatan yang sangat luar biasa dalam membasmi semacam virus-virus kecil, dan sekaligus mencegah terjadinya elaborasi unsur-unsur zat kapur. Jika telah terjadi, maka cara terapinya harus dengan sedikit demi sedikit.

PUASA RAJAB

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Ketahuilah bahwa bulan Rajab itu adalah bulan ALLAH, maka Barang siapa yang berpuasa satu hari dalam bulan ini dengan ikhlas, maka pasti ia mendapat keridhaan yang besar dari ALLAH SWT; Dan barang siapa berpuasa pada tgl 27 Rajab 1427/Isra Mi’raj ( 30 Juli 2008 ) akan mendapat pahala seperti 5 tahun berpuasa; Barang siapa yang berpuasa dua hari di bulan Rajab akan mendapat kemuliaan di sisi ALLAH SWT; Barang siapa yang berpuasa tiga hari yaitu pada tgl 1, 2, dan 3 Rajab ( 04 ;05 ; 06 JULI 2008 ) maka ALLAH akan memberikan pahala seperti 900 tahun berpuasa dan menyelamatkannya dari bahaya dunia, dan siksa akhirat; Barang siapa berpuasa lima hari dalam bulan ini, insya Allah permintaannya akan dikabulkan; Barang siapa berpuasa tujuh hari dalam bulan ini, maka ditutupkan tujuh pintu neraka Jahanam dan barang siapa berpuasa delapan hari maka akan dibukakan delapan pintu syurga; Barang siapa berpuasa lima belas hari dalam bulan ini, maka ALLAH akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan menggantikan kesemua kejahatannya dengan kebaikan, dan barang siapa yang menambah (hari-hari puasa) maka ALLAH akan menambahkan pahalanya.”
Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam Mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s. : ” Wahai Jibril untuk siapakah sungai ini ? “Maka berkata Jibrilb a.s. : “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau dibulan Rajab ini”.
Dalam sebuah riwayat Tsauban bercerita : “Ketika kami berjalan bersama-sama Rasulullah SAW ke sebuah kubur, lalu Rasulullah berhenti dan beliau menangis dengan amat sedih.” Kemudian Tsauban bertanya : “Ya Rasulullah mengapakah engkau menangis ?” Lalu beliau bersabda : “Wahai Tsauban, mereka itu sedang disiksa dalam kubur nya, dan saya berdoa kepada ALLAH, lalu ALLAH meringankan siksa atas mereka”. Sabda beliau lagi : “Wahai Tsauban, kalaulah sekiranya mereka ini mau berpuasa satu hari dan beribadah satu malam saja di bulan Rajab niscaya mereka tidak akan disiksa di dalam kubur.” Tsauban bertanya : “Ya Rasulullah, apakah hanya berpuasa satu hari dan beribadah satu malam dalam bulan Rajab sudah dapat mengelakkan dari siksakubur ?” Sabda beliau : “Wahai Tsauban, demi ALLAH Zat yang telah mengutus saya sebagai nabi, tiada seorang muslim lelaki dan perempuan yang berpuasa satu hari dan mengerjakan sholat malam sekali dalam bulan Rajab, dengan niat karena ALLAH, kecuali ALLAH mencatatkan baginya seperti berpuasa satu tahun dan mengerjakan sholat malam satu tahun. “Sabda beliau lagi: “Sesungguhnya Rajab adalah bulan ALLAH, Sya’ban Adalah bulan aku dan bulan Ramadhan adalah bulan umatku”. “Semua manusia akan berada dalam keadaan lapar pada hari kiamat, kecuali para nabi, keluarga nabi dan orang-orang yang berpuasa pada bulan Rajab, Sya’ban dan bulan Ramadhan. Maka sesungguhnya mereka kenyang, serta tidak akan merasa lapar dan haus bagi mereka.”
Wassalamu’alaikum wr.wb
Dikirim dari seorang kawan kepada saya. Dan karena ketidak tahuan saya dan keterbatasan yang saya miliki maka Ketika saya googling tentang amalan dibulan Rajab, saya mendapat banyak artikel tentangnya, sayangnya saya pribadi banyak mendapat penjelasan tentang lemahnya hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan bulan Rajab.
Dua dari lainnya saya kutip dibawah :
Ahmad Sarwat, Lc (eramuslim.com)
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Hak untuk memberikan status hukum pada sebuah hadits memang dimiliki oleh para ahli hadits, dan mereka memang telah memiliki ilmunya, sehingga apa yang mereka katakan tentang suatu hadits tentu tidak bisa dibantah begitu saja.
Kecuali bila dibantah oleh ahli hadits lainnya, yang juga pakar di bidang ilmu hadits dan tentunya ilmunya sebanding.
Dan nampaknya para ahli hadits memang senada ketika menilai hadits-hadits tentang keutamaan bulan Rajab dan Sya’ban. Yaitu umumnya mereka menilai hadits-hadits itu kurang kuat, tidak shahih, lemah bahka ada yang sampai ke tingkat hadits palsu.
Lalu bagaimana sikap kita dalam masalah ini? Bolehkah kita mengamalkan hadits-hadits lemah dan palsu?
Jawabnya boleh dan tidak boleh. Maksudnya, hadits-hadits yang lemah tapi tidak sampai ke tingkat palsu, boleh dikerjakan atau diamalakan. Syaratnya sederhana sekali, yaitu tingkat kelemahannya tidak terlalu parah. Dan isinya tidak menyangkut wilayah aqidah dan hukum halal-haram masalah syariah. Tetapi sekedar masalah fadhailul a’mal.
Ini adalah pendapat sebagian besar ulama termasuk al-Imam An-Nawawi rahimahullah. Menurut kelompok ulama ini, selama hanya terkait dengan fadhilah (keutamaan), ajakan untuk mengerjakan hal-hal yang terkait dengan ibadah tambahan (nafilah), maka boleh bersandar kepada hadits yang derajatnya lemah.
Akan tetapi kalau sudah pada tingkat penetapan halal dan haram, apalagi tingkat tertentu dari masalah aqidah, maka hadits lemah tidak boleh diamalkan.
Namun ada juga sebagian ulama dari kalangan lainnya yang tetap mengharamkan kita untuk mengamalkan hadits lemah, meski hadits itu masyhur. Sebab kelemahan suatu hadits justru menunjukkan bahwa tidak bisa dipastikan bahwa sumbernya dari Rasulullah SAW. Padahal urusan ibadah tidak boleh dilakukan kecuali kalau sumbernya benar-benar 100% dipercaya datang dari Rasulullah SAW.
Maka kesimpulan mereka, haram hukumnya beribadah dengan berdasarkan hadits yang tidak shahih.
Adapun hadits palsu (maudhu’), semua ulama sepakat untuk tidak menerimanya, apalagi mengamalkannya.
Puasa Bulan Rajab dan Sya’ban
Dalam masalah puasa di bulan Rajab dan Sya`ban, kita hanya mendapatkan hadits-hadits shahih atau hasan yang menceritakan bahwa secara umum Rasulullah SAW memang banyak melakukan puasa di kedua bulan tersebut. Karena bulan Rajab termasuk bulan haram, dan puasa di bulan-bulan haram itu maqbul (diterima) dan mustahab (disukai) dalam keadaan apapun.
Namun tidak ada riwayat yang kuat menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan puasa sebulan penuh di bulan Rajab atau di bulan Sya`ban.
Sedangkan hadits-hadits yang menceritakan bahwa kalau melakukan shalat ini dan itu di bulan Rajab maka mendapat ganjaran ini dan itu, atau siapa yang beristighfar akan mendapat ganjaran tertentu, umumnya bukanlah hadits yang kuat, bahkan kebanyakannya adalah hadits dhaif dan mungkar.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Syariahonline.com
Assalamu alaikum wr.wb.
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram . Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa (QS. At-Taubah : 36 )
Artinya, kehormatan dan kesucian bulan terus harus diperhatikan. Amal kebaikan yang dilakukan pada bulan-bulan tersebut memiliki nilai yang lebih besar daripada jika dilakukan pada bulan-bulan yang lain. Sebaliknya, amal-amal keburukan yang dilakukan pada bulan-bulan tersebut juga lebih dimurkai ketimbang jika dilakukan pada bulan-bulan lain.
Adapun dalil-dalil yang menerangkan tentang keutamaan puasa pada tanggal-tanggal tertentu di bulan Rajab pada umumnya adalah dhaif bahkan maudhu (palsu). Dengan demikian tidak bisa dijadikan sebagai landasan amal.
Ibnu Hajar Al-Asqolani berkata: “Tidak ada satu keterangan pun yang menjelaskan keutamaan bulan Rajab, tidak juga berkaitan dengan shaumnya, atau pun berkaitan dengan sholat malam yang dikhususkan pada bulan tersebut. Yang merupakan hadis shohih yang dapat dijadikan hujjah” (Risalah Tabiyinul Ajab hal. 3)
Jadi, cukuplah firman Allah di atas dan nash lain yang shahih menjadi landasan bahwa ibadah di bulan Rajab memiliki nilai yang sangat tinggi.
Wassalamu alaikum wr.wb
Semoga ada manfaat bagi diri Saya pribadi khususnya.